Home »
» Cerita Legenda Bukit Kelam Cerita Rakyat Dari Kalimantan Barat
Cerita Legenda Bukit Kelam Cerita Rakyat Dari Kalimantan Barat
Posted by Nanang
Posted on 07.41
with No comments
Alkisah,
di Negeri Sintang, Kalimantan Barat, Indonesia, hiduplah dua orang
pemimpin dari keturunan dewa yang memiliki kesaktian tinggi, namun
keduanya memiliki sifat yang berbeda.
Yang pertama bernama Sebeji atau dikenal dengan Bujang Beji. Ia
memiliki sifat suka merusak, pendengki dan serakah. Tidak seorang pun
yang boleh memiliki ilmu, apalagi melebihi kesaktiannya. Oleh karena
itu, ia kurang disukai oleh masyarakat sekitar, sehingga sedikit
pengikutnya.
Sementara seorang lainnya bernama Temenggung Marubai. Sifatnya
justru kebalikan dari sifat Bujang Beji. Ia memiliki sifat suka
menolong, berhati mulia, dan rendah hati. Kedua pemimpin tersebut
bermata pencaharian utama menangkap
ikan, di samping juga berladang dan berkebun.
Bujang Beji beserta pengikutnya menguasai sungai di Simpang Kapuas,
sedangkan Temenggung Marubai menguasai sungai di Simpang Melawi. Ikan di
sungai Simpang Melawi beraneka ragam jenis dan jumlahnya lebih banyak
dibandingkan sungai di Simpang Kapuas. Tidak heran jika setiap hari
Temenggung Marubai selalu mendapat hasil tangkapan yang lebih banyak
dibandingkan dengan Bujang Beji.
Temenggung Marubai menangkap ikan di sungai Simpang Melawi dengan
menggunakan bubu (perangkap ikan) raksasa dari batang bambu dan menutup
sebagian arus sungai dengan batu-batu, sehingga dengan mudah ikan-ikan
terperangkap masuk ke dalam bubunya. Ikan-ikan tersebut kemudian
dipilihnya, hanya ikan besar saja yang diambil, sedangkan ikan-ikan yang
masih kecil dilepaskannya kembali ke dalam sungai sampai ikan tersebut
menjadi besar untuk ditangkap kembali. Dengan cara demikian, ikan-ikan
di sungai di Simpang Melawi tidak akan pernah habis dan terus berkembang
biak.
Mengetahui hal tersebut, Bujang Beji pun menjadi iri hati terhadap
Temenggung Marubai. Oleh karena tidak mau kalah, Bujang Beji pun pergi
menangkap ikan di sungai di Simpang Kapuas dengan cara menuba[2]. Dengan
cara itu, ia pun mendapatkan hasil tangkapan yang lebih banyak. Pada
awalnya, ikan yang diperoleh Bujang Beji dapat melebihi hasil tangkapan
Temenggung Marubai. Namun, ia tidak menyadari bahwa menangkap ikan
dengan cara menuba lambat laun akan memusnahkan ikan di sungai Simpang
Kapuas, karena tidak hanya ikan besar saja yang tertangkap, tetapi ikan
kecil juga ikut mati. Akibatnya, semakin hari hasil tangkapannya pun
semakin sedikit, sedangkan Temenggung Marubai tetap memperoleh hasil
tangkapan yang melimpah. Hal itu membuat Bujang Beji semakin dengki dan
iri hati kepada Temenggung Marubai.
”Wah, gawat jika keadaan ini terus dibiarkan!” gumam Bujang Beji dengan
geram.
Sejenak ia merenung untuk mencari cara agar ikan-ikan yang ada di
kawasan Sungai Melawi habis. Setelah beberapa lama berpikir, ia pun
menemukan sebuah cara yang paling baik, yakni menutup aliran Sungai
Melawi dengan batu besar pada hulu Sungai Melawi. Dengan demikian,
Sungai Melawi akan terbendung dan ikan-ikan akan menetap di hulu sungai.
Setelah memikirkan masak-masak, Bujang Beji pun memutuskan untuk
mengangkat puncak Bukit Batu di Nanga Silat, Kabupaten Kapuas Hulu.
Dengan kesaktiannya yang tinggi, ia pun memikul puncak Bukit Batu yang
besar itu. Oleh karena jarak antara Bukit Batu dengan hulu Sungai Melawi
cukup jauh, ia mengikat puncak bukit itu dengan tujuh lembar daun
ilalang.
Di tengah perjalanan menuju hulu Sungai Melawi, tiba-tiba Bujang Beji
mendengar suara perempuan sedang menertawakannya. Rupanya, tanpa
disadari, dewi-dewi di Kayangan telah mengawasi tingkah lakunya. Saat
akan sampai di persimpangan Kapuas-Melawi, ia menoleh ke atas. Namun,
belum sempat melihat wajah dewi-dewi yang sedang menertawakannya,
tiba-tiba kakinya menginjak duri yang beracun.
”Aduuuhhh... !” jerit Bujang Beji sambil berjingkrat-jingkrat menahan
rasa sakit.
Seketika itu pula tujuh lembar daun ilalang yang digunakan untuk
mengikat puncak bukit terputus. Akibatnya, puncak bukit batu terjatuh
dan tenggelam di sebuah rantau yang disebut Jetak. Dengan geram, Bujang
Beji segera menatap wajah dewi-dewi yang masih menertawakannya.
”Awas, kalian! Tunggu saja pembalasanku!” gertak Bujang Beji kepada
dewi-dewi tersebut sambil menghentakkan kakinya yang terkena duri
beracun ke salah satu bukit di sekitarnya.
”Enyahlah kau duri brengsek!” seru Bujang Beji dengan perasaan marah.
Setelah itu, ia segera mengangkat sebuah bukit yang bentuknya memanjang
untuk digunakan mencongkel puncak Bukit Batu yang terbenam di rantau
(Jetak) itu. Namun, Bukit Batu itu sudah melekat pada Jetak, sehingga
bukit panjang yang digunakan mencongkel itu patah menjadi dua. Akhirnya,
Bujang Beji gagal memindahkan puncak Bukit Batu dari Nanga Silat untuk
menutup hulu Sungai Melawi. Ia sangat marah dan berniat untuk membalas
dendam kepada dewi-dewi yang telah menertawakannya itu.
Bujang Beji kemudian menanam pohon kumpang mambu[3] yang akan digunakan
sebagai jalan untuk mencapai Kayangan dan membinasakan para dewi yang
telah menggagalkan rencananya itu. Dalam waktu beberapa hari, pohon itu
tumbuh dengan subur dan tinggi menjulang ke angkasa. Puncaknya tidak
tampak jika dipandang dengan mata kepala dari bawah.
Sebelum memanjat pohon kumpang mambu, Bujang Keji melakukan upacara
sesajian adat yang disebut dengan Bedarak Begelak, yaitu memberikan
makan kepada seluruh binatang dan roh jahat di sekitarnya agar tidak
menghalangi niatnya dan berharap dapat membantunya sampai ke kayangan
untuk membinasakan dewi-dewi tersebut.
Namun, dalam upacara tersebut ada beberapa binatang yang terlupakan oleh
Bujang Beji, sehingga tidak dapat menikmati sesajiannya. Binatang itu
adalah kawanan sampok (Rayap) dan beruang. Mereka sangat marah dan
murka, karena merasa diremehkan oleh Bujang Beji. Mereka kemudian
bermusyawarah untuk mufakat bagaimana cara menggagalkan niat Bujang Beji
agar tidak mencapai kayangan.
”Apa yang harus kita lakukan, Raja Beruang?” tanya Raja Sampok kepada
Raja Beruang dalam pertemuan itu.
”Kita robohkan pohon kumpang mambu itu,” jawab Raja Beruang.
”Bagaimana caranya?” tanya Raja Sampok penasaran.
”Kita beramai-ramai menggerogoti akar pohon itu ketika Bujang Beji
sedang memanjatnya,” jelas Raja Beruang.
Seluruh peserta rapat, baik dari pihak sampok maupun beruang, setuju
dengan pendapat Raja Beruang.
Keesokan harinya, ketika Bujang Beji memanjat pohon itu, mereka pun
berdatangan menggerogoti akar pohon itu. Oleh karena jumlah mereka
sangat banyak, pohon kumpang mambu yang besar dan tinggi itu pun mulai
goyah. Pada saat Bujang Beji akan mencapai kayangan, tiba-tiba terdengar
suara keras yang teramat dahsyat.
”Kretak... Kretak... Kretak... !!!”
Beberapa saat kemudian, pohon Kumpang Mambu setinggi langit itu pun
roboh bersama dengan Bujang Beji.
”Tolooong... ! Tolooong.... !” terdengar suara Bujang Beji menjerit
meminta tolong.
Pohon tinggi itu terhempas di hulu sungai Kapuas Hulu, tepatnya di Danau
Luar dan Danau Belidak. Bujang Beji yang ikut terhempas bersama pohon
itu mati seketika. Maka gagallah usaha Bujang Beji membinasakan
dewi-dewi di kayangan, sedangkan Temenggung Marubai terhindar dari
bencana yang telah direncanakan oleh Bujang Beji.
Menurut cerita, tubuh Bujang Beji dibagi-bagi oleh masyarakat di
sekitarnya untuk dijadikan jimat kesaktian. Sementara puncak bukit Nanga
Silat yang terlepas dari pikulan Bujang Beji menjelma menjadi Bukit
Kelam. Patahan bukit yang berbentuk panjang yang digunakan Bujang Beji
untuk mencongkelnya menjelma menjadi Bukit Liut. Adapun bukit yang
menjadi tempat pelampiasan Bujang Beji saat menginjak duri beracun,
diberi nama Bukit Rentap.
Demikian cerita Legenda Bukit Kelam
dari daerah Kalimantan Barat, Indonesia. Cerita di atas termasuk dalam
cerita teladan yang mengandung pesan-pesan moral. Sedikitnya ada dua
pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu akibat yang
ditimbulkan dari sikap iri hati dan tamak, dan keutamaan sifat suka
bermusyawarah untuk mufakat. Sifat iri hati dan tamak tercermin pada
sifat dan perilaku Bujang Beji yang hendak menguasai ikan milik
Temenggung Marubai yang ada di Sungai Melawi. Dari sini dapat diambil
sebuah pelajaran, bahwa sifat tamak dan serakah dapat menyebabkan
seseorang menjadi iri dan dengki. Sifat ini tidak patut dijadikan
sebagai suri teladan dalam kehidupan sehari-hari. Dikatakan dalam tunjuk
ajar Melayu:
" Kalau orang tak tahu diri, seumur hidup iri mengiri apa tanda
orang serakah, berebut harta terbuah tuah "
Sementara sifat suka bermusyawarah untuk mufakat terlihat pada perilaku
kawanan sampok dan beruang yang berusaha untuk menggagalkan rencana
jelek Bujang Beji yang hendak membinasakan dewi-dewi di kayangan.
Menurut Tenas Effendy, melalui musyawarah dan mufakat, tunjuk ajar dapat
dikembangkan dengan pikiran, ide, atau gagasan yang dapat disalurkan.
Dalam ungkapan Melayu dikatakan:
" Di dalam musyawarah, buruk baiknya akan terdedah di dalam mufakat,
berat ringan sama diangkat "
Catatan:
Rantau berarti pantai sepanjang teluk (sungai); pesisir (lawan
darat).
Menuba artinya meracun ikan-ikan dengan tuba, yaitu sejenis racun
ikan dari akar tumbuh-tumbuhan hutan yang sangat memabukkan.
Pohon kumpang mambu adalah sejenis kayu raksasa yang ujungnya
menjulang tinggi ke angkasa.
0 komentar:
Posting Komentar