Sejarah tentang Dara Juanti berlayar ke tanah Jawa bukanlah hal yang baru. Tatkala ditelusuri akan membawa kita kepada kilas balik sejarah di awal tahun 1400 M. Betapa
tidak? Kita tidak mungkin menafikan, atau menghilangkan begitu saja
nama kerajaan besar di tanah Jawa. Kaitannya sangat erat dengan cikal
bakal raja-raja Sintang selanjutnya, dan tidak bisa terlepas dari
keberadaan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Sebab nama Patih Lohgender
tercantum dalam sejarah Majapahit, sebagai seorang patih pada masa
pemerintahan Dewi Suhita yang bergelar Ratu Kencana Wungu turunan ke 6
dari Raden Wijaya pendiri Kerajaan Majapahit tahun 1292.
Dalam
perjalanan mencari abangnya Demong Nutup yang konon ditawan oleh
kerajaan Majapahit. Saat tiba di tanah Jawa terjadi pertemuan yang
singkat antara Patih Lohgender dengan Dara Juanti, situasi di kerajaan
Majapahit semakin memanas, seakan-akan menunggu kehancuran karena
perebutan tahta kekuasaan yang mengakibatkan perang saudara, dimana
Bhre Wirabumi (dikenal sebagai Minak Jinggo) Raja Belambangan
memberontak. Ia tidak setuju dengan pengangkatan Dewi Suhita sebagai
raja, Sebab ia merasa lebih berhak duduk di tahta Kerajaan Majapahit. Pararaton
mencatat, Perang Paregreg (perang yang berangsur-angsur) yang
berlangsung tahun 1401 – 1406 M antara Wikramawardhana-Bhre Wirabhumi
terjadi pada tahun Saka naga-loro-anahut-wulan atau 1328 Saka (1406 M).
Kembali
kepada pertemuan antara Patih Lohgender dengan Putri Dara Juanti di
tanah Jawa, tersirat beberapa ujian yang diberikan oleh Patih Lohgender
kepada Putri Dara Juanti sebagai bukti apakah Demong Nutup itu benar
abangnya atau bukan. Ujian pertama adalah Dara Juanti dan Demong Nutup
diminta untuk berbaring diatas satu buah pelepah daun pisang. Artinya
apabila pelepah daun pisang itu pecah, maka mereka bukanlah saudara.
Setelah melakukan ujian itu ternyata pelepah daun pisang sebagai alas
untuk keduanya berbaring tidak pecah. Artinya mereka berdua benar-benar
saudara.
Setelah
melewati ujian pertama, Patih Lohgender masih belum puas, dia ingin
membuktikan siapa sosok ksatria yang penampilannya mirip perempuan.
Patih Lohgender menguji lagi untuk melompat sebuah sungai, karena
menurut kepercayaan masyarakat di Majapahit saat itu apabila yang
melangkahi sungai itu betul-betul seorang perempuan, maka dengan
seketika dia akan datang menstrusai/haid akan keluar. Dara Juanti
terdiam sejenak karena takut penyamarannya diketahui oleh Patih
Lohgender. Tetapi tiba-tiba datang seekor burung elang yang selalu
menemani Putri Dara Juanti menghampirinya seolah-olah berkata segera
untuk melakukan ujian itu. Dengan penuh percaya diri Dara Juanti
melakukannya tiba-tiba burung kesayangannya itu langsung menabrak dada
Dara Juanti dan burung itu mengoyak dadanya sendiri sehingga darah
segarpun bercucuran. Dengan melihat darah yang itu Patih Lohgender
begitu yakin bahwa dalam penyamaran itu adalah seorang perempuan. Tetapi
betapa kagetnya Patih Lohgender ketika Dara Juanti mengatakan bahwa
darah itu adalah darah burung sembari menunjukan burung yang ada
ditangannya. Namun saat itu Putri Dara Juanti kembali melompati sungai
itu untuk menghampiri Patih Lohgender lagi, dan tanpa disadari penutup
kepala Putri Dara Juanti terlepas. Dan pada akhirnya Putri Dara Juanti
membuka semua tutup kepalanya dan menguraikan rambutnya yang panjang.
Betapa kagetnya Patih Lohgender ketika melihat wajah cantik yang
dihadapannya memiliki ilmu kenuragaan yang tinggi, yang ternyata
kecurigaannya memang benar terjawab bahwa itu sosok wajah perempuan yang
menyamar sebagai laki-laki.
Setelah
dua ujian itu mampu dilewati oleh Putri Dara Juanti dan Patih Lohgender
mengakui kehebatan dan keberanian Putri Dara Juanti. Sikap pemberani
Putri Dara Juanti itu membuat seorang Patih dari kerajaan Majapahit
terkagum-kagum. Tetapi apa yang dikatakan oleh Patih Lohgender pada saat
itu ?.... Wahai Tuan Putri… ketahuilah..! jangankan untuk membawa
abangmu pulang ke negeri asal mu, satu genggam tanah di majapahit pun
tidak aku ijinkan untuk dibawa. Dara Juanti terus berusaha untuk memohon
kepada Patih Lohgender, dan pada akhirnya iapun menjawab, saya siap
membebaskan abang-mu dan mengijinkan untuk dibawa pulang ke negeri-mu,
tetapi ada persyaratannya. Dara Juanti kaget dan bertanya… Apa
persyaratannya tuan..? Dengan enteng Patih Lohgender menjawab “ Abang mu
akan bebas asalkan tuan putri bersedia menikah dengan ku”.
Betapa
terkejutnya Dara Juanti mendengar persyaratan yang diminta oleh Patih
Lohgender dan sejenak terdiam seribu bahasa, dan pada akhirnya terjawab
juga. Baiklah Tuan… saya bersedia, tetapi tuan harus memenuhi
persyaratan ku juga yaitu “Tuan harus datang ke negeri dimana tempat ku
berada”. Setelah keduanya sama-sama sepakat dan masing-masing menerima
dan setuju dengan persyaratan, Dara Juanti segera membawa abangnya
pulang ke negeri Sintang.
Singkat
sejarah, setelah perang usai, Dewi Suhita (Ratu Kencana Wungu)
memerintahkan kepada Temenggung Arya Kembar untuk mengasingkan kedua
putra Patih Lohgender dan melepaskan semua jabatan dari struktur
pemerintahan majapahit. Sejak kedua putranya diasingkan oleh Dewi
Suhita, sebagai seorang ayah Patih Lohgender merasa malu dengan
perbuatan kedua putranya, Patih Logender pun mengundurkan diri dan
melepaskan semua jabatannya dari struktur pemerintahan kerajaan
Majapahit. Dan pada akhirnya Patih Logender memutuskan untuk pergi ke
Borneo tepatnya di negeri Sintang dimana tempat Puteri Dara Juanti
memerintah sebagai seorang raja/ratu.
Kedatangan
Patih Lohgender di Negeri Sintang memang benar-benar memenuhi
persyaratan yang diminta oleh Dara Juanti. Tidak hanya itu, tetapi
kecantikan Putri Dara Juanti itu sendiri yang membuat hati seorang Patih
dari Majapahit rela melepaskan semua jabatanya untuk mencari jalan
bagaimana caranya untuk dapat bertemu. Dengan menempuh perjalanan yang
begitu jauh serta melelahkan, pada akhirnya Patih Lohgender tiba juga di
negeri Sintang. Setibanya di negeri Sintang, betapa kagetnya Patih
Lohgender, ternyata ksatria yang dia jumpai di pelabuhan Tuban itu
adalah seorang raja muda yang arif dan bijaksana.
Singkat
sejarah, akhir dari semua itu keduanya saling menyukai. Dalam waktu
yang tidak terlalu lama Patih Logender meminang Puteri Dara Juanti
kepada abangnya Demong Nutup. Namun pinangan itu ditolak oleh Demong
Nutup dengan syarat pinangan itu akan diterima apabila Patih Lohgender
sanggup mengeluarkan 40 orang kepala dan 20 orang gadis yang masih suci,
keris elok tujuh berkepala naga serta barang lainya. Mendengar
persyaratan itu Patih Logender kembali ke Jawa untuk menyiapkan
persyaratan yang diminta oleh Demong Nutup untuk meminang adiknya Dara
Juanti.
Kesempatan
yang baik tidak disia-siakan oleh Patih Lohgender, berbekal pengalaman
sebagai seorang patih di Majapahit dan juga sebagai seorang seniman,
Patih Lohgender memanfaatkan waktu di desa kelahirannya yaitu desa Loh
untuk mempersiapkan semua persyaratan pinangannya kepada Putri Dara
Juanti. Yang lebih istimewa sebagai hasil karyanya adalah tiang
penyangga gong besar yang diukir dengan bentuk ular naga sebagai
penguasa sungai / laut yang di puncaknya terdapat burung Garuda
bermahkota sebagai penguasa dunia atas. Selain itu juga terdapat
sebongkah tanah yang disebut tanah Majapahit, Seperangkat Alat Musik
Gamelan, Sebuah keris elok tujuh yang merupakan salah satu senjata
pusaka Majaphit yang bernama Keris Naga Serinti, 40 orang kepala dan 20
orang gadis yang masih suci, serta busana cindai disebut Gerising Wayang
yang merupakan kelengkapan pakaian mulai dari mahkota seperti yang
terdapat dipuncak gantungan gong yang disebut juga dengan Jamang
Mustika. Dengan membawa persyaratan yang diminta dan semuanya telah
disiapkan barulah Patih Lohgender kembali lagi ke negeri Sintang untuk
diserahkan kepada Putri Dara Juanti.
Burung Garuda Lambang Kerajaan Sintang dan Elang Rajawali Garuda Pancasila Lambang Negara
Setelah Raden Syamsuddin diberhentikan oleh pemerintah NICA (Belanda) dari jabatan Panembahan, maka di Sintang hanya ada pemerintahan tunggal yaitu NICA dengan Beuwkes sebagai assisten residet. Susunan tata pemerintahan kerajaan disempurnakan berdasarkan pengakuan terhadap 12 daerah pemerintahan swapraja dan 3 daerah Neo Swapraja yang diakui oleh pemerintahan Hindia Belanda sejak tahun 1926 dengan staatsblad 1948 (hasan, Syamsuddin, 1973). Dengan perkembangan inilah dalam tahun 1947 diangkat Ade Muhammad Djohan sebagai Ketua Majelis Kerajaan Sintang. Ke 12 daerah Swapraja serta 3 daerah Neo Swapraja ini membentuk suatu gabungan yang merupakan sebuah Federasi. Federasi ini oleh pemerintah NICA diakui sebagai daerah Istimewa dengan pemerintahan sendiri melalui sebuah Dewan yang disebut Dewan Kalimantan Barat (DKB), dan daerahnya disebut Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB). Pengakuan ini dikeluarkan oleh Letnan Gubernur Jendral, tanggal 2 Maret 1948 (Staatsblad 1948 No. 58), (sumber buku “Wajah Kalimantan Barat” Hal. 14).
Usia DIKB tidak lama, karena dengan surat keputusan No. 234/R dan 235/R tanggal 7 Mei 1950 menyerahkan wewenang pemerintahannya kepada Resident Kalimantan Barat di Pontianak sebagai wakil pemerintah Pusat RIS di saat itu. Kemudian Menteri Dalam Negeri RIS mengeluarkan surat keputusan No. B.Z. 17/2/47 tertanggal 24 Mei 1950 yang menetapkan bahwa Pemerintahan di Kalimantan Barat dijalankan oleh Residen Kalimantan Barat berlandaskan pasal 54 Konstitusi RIS.
Saat
Ade Mohammad Djohan diangkat menjadi Ketua Mejelis Kerajaan Sintang,
beliau juga terpilih sebagai anggota DPR wakil Kalimantan Barat. Dari
jabatan itu hubungan persahabatan keduanya semakin dekat, apalagi saat
itu Sultan Hamid II sebagai Menteri Negara Zonder Porto Folio
berdasarkan keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) No. 2
tahun 1949 dipercaya untuk mengkoordinir kegiatan perancangan lambang
Negara. Sehubungan dengan penugasan itu beliau mulai melakukan
pendekatan ke berbagai kalangan termasuk melakukan studi komperatif atas
lambing Negara barat maupun timur. Dalam rangka mencari ide untuk
membuat lambang Negara, terdapat kesempatan Sultan Hamid II berbicara
kepada Ade Mohammad Djohan (sebagai kepala Swapraja Sintang anggota
parlemen RIS). Ade Mohammad Djohan menyatakan bahwa lambang kerajaan
Sintang adalah Burung Garuda. Mendengar ucapan Ade Mohammad Djohan,
Sultan Hamid sangat tertarik dan sejak itu baik di Jakarta ataupun di
Pontianak terjadi diskusi yang sangat intensif antara keduanya. Akhir
dari semua itu Sultan Hamid II memberitahukan kepada Ade Mohammad Djohan
bahwa beliau telah memutuskan akan membuat rancangan Lambang Negara RIS
berbentuk Burung Garuda.
Berhubung
dengan itu Sultan Hamid II pada bulan Januari 1950 berkunjung ke Kapuas
Hulu dan dengan sengaja singgah di kesultanan Sintang untuk membuktikan
sebuah fakta yang yang pernah dibicarakan dengan Ade Mohammad Djohan
tentang lambang kerajaan Sintang. Pada saat Sultan Hamid melihat fakta
yang ada, beliau kagum dan sangat tertarik. Oleh karena itu Sultan Hamid
II segera meminjamkan burung Garuda sebagai lambang kerajaan Sintang
untuk dibawa ke Pontianak. Burung Garuda yang dipinjam oleh Sultan Hamid
sat itu adalah berukuran kecil yang menghiasi puncak penyangga tiang
Gantungan Gong yang dibawa Patih Lohgender dari Majapahit.
Saat
itu pihak swapraja Sintang tak keberatan, namun dengan beberapa syarat,
salah satunya Sultan Hamid harus menandatangani semacam berita acara
peminjaman, dan waktu peminjaman sendiri tak boleh lebih dari 1 bulan.
Fakta bahwa bentuk Burung Garuda yang pernah dibawa Sultan Hamid II
tersebut kini di Simpan di Istana Kesultanan Sintang, yang telah ratusan
tahun lalu menjadi pusat Kerajaan Sintang.
Menurut
A.M Sulaiman (83) salah seorang pegawai swapraja Sintang yang turut
menjadi saksi peminjaman lambang kerajaan Sintang oleh Sultan Hamid II
pada masa itu, juga membenarkan adanya peminjaman tersebut. Sebagai
saksi hidup peminjaman, beliau juga menyatakan, tak bermaksud menyangkal
fakta sejarah bahwa Sultan Hamid II yang mengusulkan Burung Garuda
Sebagai lambang negara, namun mereka hanya berharap ada pelurusan
kronologi sejarah. Faktanya adalah Sultan Hamid II memang meminjam
lambang kerajaan Sintang yang berbentuk Burung Garuda. Faktanya lambang
tersebut menjadi acuan Sultan Hamid mengusulkan Burung Garuda Sebagai
Lambang Negara.” Ditambahkan lagi olehnya saat dialog antara keduanya, Ade Mohammad Djohan mengusulkan kepada Sultan Hamid II untuk mengusulkan Burung Murai
sebagai lambang Negara, karena burung murai adalah burung pembersih
atau rajin artinya tidak mau bermain-main ditempat yang kotor, oleh
sebab itu apabila kita lihat sarang burung murai selalu dalam keadaan
bersih.
Diskursus
mengenai kronologi terciptanya lambang negara Indonesia kembali dibuka,
pasalnya meski sejarah negara ini menyatakan bahwa ide penggunaan
Burung Garuda sebagai lambang negara ini diperkenalkan oleh Sultan Hamid
II dari Pontianak, namun ternyata lambang yang dibawa oleh Sultan Hamid
tersebut dipinjam dari lambang kerajaan Sintang. Apabila Sultan Hamid
II tidak meminjam burung Garuda yang menjadi lambang kerajaan Sintang
saat itu, besar kemungkinan rancangan lambang Negara yang diusulkan oleh
Sultan Hamid II bisa jadi dengan bentuk dan nama lain seperti yang
diusulkan oleh anggota panitia lainnya.
Kalau kita amati secara mendalam, lambang Negara Republik Indonesia “Lahir Dari Sintang”
sudah tepat, karena bahan yang dipinjam oleh Sultan Hamid II berbentuk
fisik dan bukan sketsa gambar garuda di berbagai candi di pulau Jawa
seperti yang dikirimkan oleh K.H. Dewantara kepada Sultan Hamid II,
apalagi seperti pernyatan J.U Lontaan yang menyatakan: "Ukiran burung Garuda. Tak berbeda dengan gambar burung garuda lambang bangsa Indonesia", Lambang kerajaan Sintang dengan nama Burung Garuda, sedangkan Lambang Negara oleh Sultan Hamid II menamakan Elang Rajawali Garuda Pancasila.
Dan baru diatur dalam amandemen kedua UUD 1945 pada tahun 2000 barulah
dicantumkan bahwa “Garuda Pancasila” merupakan Lambang Negara Indonesia.
Oleh
sebab itu lambang Negara Republik Indonesia lahir dari lambang kerajaan
Sintang sudah sangat jelas sekali karena artefak burung Garuda itu
sendiri masih utuh dan terpelihara dengan baik, bahkan dalam rangka
memperingati “60 tahun Garuda Pancasila” oleh Kementerian Luar Negeri
Republik Indonesia melalui Museum Konperensi Asia Afrika Bandung
meminjam artefak burung Garuda itu untuk dijadikan icon pameran "60
tahun Garuda Pancasila". Karena pameran itu mendapat sambutan puluhan
ribu pengunjung, maka pihak kementerian luar negeri melalui museum
konperensi Asia Afrika memperpanjang peminjaman untuk tingkat Asia di
Bandung sehingga peminjaman artefak tersebut menjadi 6 (enam) bulan
lamanya. Alhasil artefak burung Garuda yang berasal dari eks kerajaan
Sintang mampu menyedot puluhan bahkan ratusan ribu pengunjung dari
berbagai lapisan masyarakat.
"GARUDA"LAHIR DARI SINTANG
Garuda merupakan lambang Negara Indonesia, hampir semua orang tahu
itu. Namun hanya sebagian orang saja yang mengetahui darimana
asal-muasalnya dan bagaimana sejarahnya hingga menjadi lambang
kebanggaan negara ini. Sewaktu Republik Indonesia Serikat dibentuk, dia
diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio dan selama jabatan
menteri negara itu ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang
dan merumuskan gambar lambang negara. Dia adalah Sultan Hamid II yang
berasal dari Pontianak.
Dalam
perjalanan mencari inspirasi tentang lambang Negara yang ditugaskan
oleh Soekarno pada saat itu, Sultan Hamid II sempat berbincang-bincang
dengan Ade Muhammad Djohan (Ketua Majelis Kerajaan Sintang). Dalam
perbincangan tersebut diungkapkan oleh Ade Muhammad Djohan tentang
lambang kerajaan Sintang yang bernama burung Garuda. Mendengar
penjelasan tersebut, Sultan Hamid II tertarik untuk melihat atau
menyaksikan secara langsung bagaimana bentuk lambang kerajaan Sintang.
Dalam
menjalankan tugasnya sebagai Menteri Negara Zonder Porto Folio, Sultan
Hamid II berkunjung ke Kabupaten Kapuas Hulu. Dalam kunjungan kerja
tersebut Sultan Hamid II menyempatkan diri untuk singgah di kerajaan
Sintang untuk melihat secara langsung lambang Kerajaan Sintang dan
Sultan Hamid II tertarik dan beliau mohon kepada Ade Muhammad Djohan
(Ketua Mejelis Kerajaan Sintang) untuk dapat meminjamkan lambang
kerajaan Sintang dibawa ke pontianak, dan oleh Ade Muhammad Djohan di
setujui dan di saksikan oleh enam orang pegawai swapraja. Burung Garuda
yang dipinjamkan oleh kerajaan Sintang pada saat itu adalah yang
beukuran kecil yang terdapat pada gantungan tiang gong. Dengan
peminjaman Burung Garuda dari kerajaan Sintang oleh Sultan Hamid II,
itulah yang menjadi salah satu inspirasi beliau untuk menjadikan
lambang Negara Indonesia dengan nama “GARUDA” serta dengan bentuk yang
tidak jauh berbeda. Apabila diuraikan atau dianalisis lebih mendalam
tentang peminjaman tersebut, maka apabila Sultan Hamid II tidak
meminjamkan burung Garuda yang menjadi lambang kerajaan Sintang saat
itu, besar kemungkinan rancangan lambang Negara yang diusulkan oleh
Sultan Hamid II bisa jadi dengan bentuk dan nama lain seperti yang
diusulkan oleh anggota tim lainnya.
Yang
menjadi pertanyaan adalah mengapa “Garuda” yang dijadikan lambang
Negara Indonesia? Bukan Cenderawasih, Rajawali, Elang, atau burung yang
lainnya. Ada yang menyebutnya Garuda itu seperti Elang Jawa, atau
seperti Elang Papua dan lain sebagainya. Dengan adanya penjelasan dari
wawancara dengan salah satu saksi peminjaman yang saat itu masih dalam
keadaan sehat mengatakan bahwa dalam dialog antara Sultan Hamid II
dengan Ade Muhammad Djohan, disarankan oleh Ade Muhammad Djohan supaya
lambang Negara menggunakan burung murai.
Kalau
kita amati secara mendalam, dapat disimpulkan 80 % lambang Negara
Republik Indonesia di adopsi dari lambang kerajaan Sintang, yang oleh
Sultan Hamid II dijadikan inspirasi untuk merancang Lambang Negara
Republik Indonesia. Mengapa…? Karena beberapa kali rancangan itu sempat
ditolak (mengalami perubahan) oleh anggota panitia lambang Negara RIS
lain, seperti M. Natsir misalnya, karena ada tangan manusia yang
memegang perisai berkesan terlalu mitologi dan feodal. Setelah mendapat
banyak masukan untuk penyempurnaan rancangan itu, sehingga tercipta
bentuk figur elang Rajawali. Disini burung Garuda digambar dalam bentuk
alami menyerupai Elang Rajawali yang perkasa yang menyerupai lambang
kerajaan Sintang saat itu. Sedangkan bentuk perubahan yang terjadi
berupa penambahan dan pengurangan, seperti : bagian kepala menjadi
berjamul dan menghadap ke kanan, perisai Pancasila digantungkan menempel
pada leher Elang Rajawali Garuda Pancasila, dan bagian kaki menjadi
terbuka dengan memegang pita semboyan Bhineka Tunggal Ika. Selain dari
itu tidak ada perubahan yang mendasar baik dari bentuk maupun namanya.
Lambang kerajaan Sintang dengan nama Burung Garuda, sedangkan Lambang
Negara Republik Indonesia “Garuda Pancasila”.
Oleh sebab itu lambang Negara Republik Indonesia lahir dari lambang
kerajaan Sintang. Hal itu sudah sangat jelas sekali karena artefak
burung Garuda itu sendiri masih utuh dan terpelihara dengan baik, bahkan
dalam rangka memperingati “60 tahun Garuda Pancasila” oleh Kementerian
Luar Negeri Republik Indonesia melalui Museum Konperensi Asia Afrika
Bandung meminjam artefak burung Garuda itu untuk dijadikan icon pameran
"60 tahun Garuda Pancasila". Karena pameran itu mendapat sambutan
ratusan ribu pengunjung, maka pihak kementerian luar negeri melalui
museum konperensi Asia Afrika memperpanjang peminjaman untuk tingkat
Asia di Bandung sehingga peminjaman artefak tersebut menjadi 6 (enam)
bulan lamanya. Alhasil artefak burung Garuda yang berasal dari eks
kerajaan Sintang mampu menyedot ratusan ribu pengunjung dari berbagai
lapisan masyarakat.
Sejarah
singkat keberadaan “Burung Garuda” di kerajaan Sintang merupakan salah
satu barang hantaran dari Patih Logender dari kerajaan Majapahit untuk
mempersunting Putri Dara Juanti dari kerajaan Sintang diperkirakan
sekitar tahun 1401 M. Pada masa pemerintahan
Putri Dara Juanti sebagai raja di kerajaan Sintang burung Garuda
tersebut dijadikan sebagai lambang kerajaan Sintang. Untuk memperjelas
bahwa lambang kerajaan Sintang berupa burung Garuda, maka pada tahun
1807 M, pada masa pemerintahan Pangeran Ratu Achmad Qamaruddin menjadi
raja Sintang, dibuatlah duplikat patung burung Garuda yang berukuran
besar yang di pahat oleh seorang tokoh dari suku Dayak yang bernama Suta
Manggala, menyerupai bentuk aslinya yang terdapat pada tiang gong dan
yang dipinjam oleh Sultan Hamid II untuk merancang lambang Negara.
Sebagai bukti sejarah patung burung Garuda yang berukuran kecil yang
terdapat di tiang gong masih terawat dengan baik, walaupun ada sedikit
kerusakan karena faktor usia dari bahan kayu untuk pembuatannya dan yang
berukuran besar juga masih terjaga dan tersimpan rapi di istana
kerajaan sintang.
"TANAH TANJUNG" (Perjuangan Pangeran Kuning Melawan Kolonialisme
Seperti
yang sudah dikatakan diatas, bahwa Pangeran Kuning adalah seorang
pahlawan besar, yang sejak didalam pemerintahan kerajaan Sintang sebagai
orang yang tidak menerima kehadiran kolonial Belanda di Sintang sudah
diakui, baik oleh rakyat Sintang sendiri, maupun oleh musuh-musuh
(kolonial Belanda). Kenyataan ini dapat dibuktikan pada
perlawanan-perlawanan beliau. Sejak Pangeran Kuning meninggalkan
istana untuk melawan kolonial Belanda. Dengan demikian, tentulah beliau
tidak akan bisa melupakan tentang kejadian-kejadian yang menyebabkan
politik pemerintah di kerajaan Sintang diambil alih pemerintah kolonial
Belanda.
Perang perlawanan terhadap kolonial yang dilakukan oleh laskar perlawanan di wilayah Sintang dibawah pimpinan Pangeran Kuning berlangsung ± 35 tahun (1822-1857). Bukti-bukti peninggalan sejarah sebagian besar telah musnah, para pelaku sejarah sudah kembali kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang tersisa hanyalah catatan (manuscrips) dan tempat bersejarah sebagai saksi bisu yang mampu mengungkapkan peristiwa perlawanan ke permukaan yang patriotik dan heroik pada zamannya. Tentang perlawanan dimaksudkan itu, pihak kolonial Belanda sendiri telah mengakuinya sebagaimana termuat di dalam laporannya: pertama, Historische Aanteekeningen, Jaar 1889”, kedua, “Chronologish-Ta Bellarisch Overz Icht Gesciedenis Garniz Oens-Bataljon De Westera Deeling Van Borneo. (Opgericht Ingevolge Gouvts. Besluit ddo. 8 Mei 1856) No. 10 (Kon. Nesluit dd. 2 Augustus 1853 Letter E.14). Mutaties, Veldtochten. Uitstekende Daden, Byzondere Verrichtingen En Ontvangen Beloeningan”.
Dengan adanya pengakuan dari pemerintah kolonial Belanda tersebut, berarti ada bukti tertulis yang tak terbantahkan tentang kebenaran, keberadaan dan keabsahan perang melawan kolonialisme Belanda di wilayah Sintang. Disamping itu memang tidak ada pemberontakan lain sebagai aksi perlawanan yang dimaksud yang terjadi pada kurun waktu dari tahun 1822 (saat pemerintah kolonial Belanda tiba di Sintang), dan pada tahun 1825 meletuslah gerakan perlawanan pertama kalinya yang dipimpin oleh Pangeran Kuning di Sintang yang pada akhirnya sampai beliau wafat ditahun 1857 perang terus berkecamuk, sehingga keputusan Gubernur Jendral Belanda dengan mengeluarkan pernyataan bahwa bagian Sintang pada tanggal 20 Desember 1856 berada dalam keadaan Perang (Darurat). Setelah beliau wafat aksi perlawanan tetap semarak, berkobar, dan berlanjut.
Perang perlawanan terhadap kolonial yang dilakukan oleh laskar perlawanan di wilayah Sintang dibawah pimpinan Pangeran Kuning berlangsung ± 35 tahun (1822-1857). Bukti-bukti peninggalan sejarah sebagian besar telah musnah, para pelaku sejarah sudah kembali kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang tersisa hanyalah catatan (manuscrips) dan tempat bersejarah sebagai saksi bisu yang mampu mengungkapkan peristiwa perlawanan ke permukaan yang patriotik dan heroik pada zamannya. Tentang perlawanan dimaksudkan itu, pihak kolonial Belanda sendiri telah mengakuinya sebagaimana termuat di dalam laporannya: pertama, Historische Aanteekeningen, Jaar 1889”, kedua, “Chronologish-Ta Bellarisch Overz Icht Gesciedenis Garniz Oens-Bataljon De Westera Deeling Van Borneo. (Opgericht Ingevolge Gouvts. Besluit ddo. 8 Mei 1856) No. 10 (Kon. Nesluit dd. 2 Augustus 1853 Letter E.14). Mutaties, Veldtochten. Uitstekende Daden, Byzondere Verrichtingen En Ontvangen Beloeningan”.
Dengan adanya pengakuan dari pemerintah kolonial Belanda tersebut, berarti ada bukti tertulis yang tak terbantahkan tentang kebenaran, keberadaan dan keabsahan perang melawan kolonialisme Belanda di wilayah Sintang. Disamping itu memang tidak ada pemberontakan lain sebagai aksi perlawanan yang dimaksud yang terjadi pada kurun waktu dari tahun 1822 (saat pemerintah kolonial Belanda tiba di Sintang), dan pada tahun 1825 meletuslah gerakan perlawanan pertama kalinya yang dipimpin oleh Pangeran Kuning di Sintang yang pada akhirnya sampai beliau wafat ditahun 1857 perang terus berkecamuk, sehingga keputusan Gubernur Jendral Belanda dengan mengeluarkan pernyataan bahwa bagian Sintang pada tanggal 20 Desember 1856 berada dalam keadaan Perang (Darurat). Setelah beliau wafat aksi perlawanan tetap semarak, berkobar, dan berlanjut.
"Putri Dara juanti"
Putri
Dara Juanti yang terkenal dalam sejarah kerajaan sintang yang membawa
perhubungan dengan tanah jawa. Dalam sejarahnya Dara Juanti berlayar ke
tanah Jawa untuk membebaskan saudaranya Demong Nutup (di jawa dikenal
dengan nama Adipati Sumintang) yang ditawan oleh salah satu kerajaan di
Jawa. Singkat cerita, di pelabuhan tuban Dara Juanti di hadang oleh
prajurit kerajaan dan merupakan pertemuan pertama dengan seorang Patih
dari Majapahit yaitu Patih Logender. Dari pertemuan itulah yang membuat
hubungan keduanya semakin dekat, dan kemudian Patih Logender pergi ke
Kerajaan Sintang untuk melamar Dara Juanti. Namun malang tak bisa di
tolak Patih Logender harus pulang ke Jawa karena harus memenuhi
persyaratan - persyaratan yang di minta oleh Dara Juanti. Diantara
persyaratan itu antara lain : Keris elok tujuh berkepala naga, empat
puluh kepala, empat puluh dayang-dayang, dan lainnya.Dengan
memenuhi persyaratan yang diminta dan semuanya terpenuhi barulah
pinangan itu diterima bersama barang pinangan lainnya yang diserahkan
oleh Patih Logender kepada Demong Nutup untuk meminang Puteri Dara
Juanti. Selain persyaratan diatas, Patih logender menyerahkan
barang-barang pinangan lainnya seperti seperangkat alat musik, patung
burung garuda terbuat dari emas, sebongkah tanah majapahit, dan lainnya.
Melihat barang pinangan sudah dipenuhi oleh Patih Logender sebagai
persyaratan untuk meminang Puteri Dara Juanti, tidak lama kemudian
pernikahan-pun dilangsungkan. Dalam catatan sejarah, pernikahan Putri
Dara Juanti dengan Patih Logender diperkirakan tahun 1401 M, karena pada
saat pernikahan usia Puteri Dara Juanti diperkirakan 27 tahun sedangkan
Patih Logender diperkirakan diatas 50 tahun karena di Jawa Patih
Logender sudah memiliki isteri dan mempunyai tiga orang anak. Dari
Pernikahan itu keduanya dikarunia tiga orang anak, yang pertama dan
kedua perempuan yaitu Dewi Kesuma dan Dewi Udara serta yang ketiga
laki-laki bernama Abang Semat (Jubair Irawan II).
MAsuknya Agama Islam Di Kerajaan Sintang
Pada
pertengahan abad ke – XVII, Kerajaan Sintang di perintah oleh seorang
raja yang bernama Abang Pencin bergelar “ Pangeran Agung ”, Baginda
Pangeran Agung adalah turunan ke – 17 dari Raja di Kerajaan Sintang yang
pertama. Pusat Pemerintahan Kerajaan pada waktu itu terletak di wilayah
yang disebut Pulau Perigi, yaitu ditengah kota Sintang dan pada saat
sekarang perbatasan antara Kelurahan Kapuas Kiri Hilir dan Kelurahan
Kapuas Kiri Hulu.
Baginda Pangeran Agung beserta sebagian besar rakyatnya menganut agama Hindu, serta sebagian lainnya masih menganut faham animisme. Pada masa itu agama hindu telah berkembang dan tersebar dengan pesatnya di Kerajaan Sintang bagaikan cendawan di musim hujan, agama hindu berkembang sejak abad ke – XV yang dibawa dan di kembangkan oleh seorang Patih dari Kerajaan Majapahit bernama Patih Logender.
Belum begitu lama Baginda Pangeran Agung memangku jabatan sebagai Raja di Kerajaan Sintang, datanglah dua orang perantau dari luar kerajaan Sintang yang kemudian diketahui ternyata para mubaligh Islam. Mereka adalah Mohammad Saman dari Banjarmasin dan Enci’ Shomad dari Serawak.
1Begitu sampai ditanah Sintang kedua mubaligh langsung menghadap Baginda Raja Pangeran Agung, mereka berdua menyatakan keinginannya menetap di Kerajaan Sintang jika mendapat izin dari Baginda Raja, Sebagai mubaligh, tutur bahasa yang lemah lembut serta sopan santun dengan penuh rasa rendah hati menyebabkan Baginda Raja Pangeran Agung tertarik, dan atas izin Baginda Raja kedua mubaligh itu bertempat tinggal di rumah seorang Menteri. Dirumah Menteri itu kedua mubaligh tetap melaksanakan ibadah sholat sebagaimana mestinya. Tidak berapa lama sang menteripun tertarik ingin mengetahui apa yang dilakukan oleh kedua mubaligh tersebut dan pada suatu hari menteri memberanikan diri untuk menanyakan hal ihwal apa yang dikerjakan oleh kedua mubaligh tersebut. Kedua mubaligh itu saling silih berganti menerangkan kepada menteri pokok-pokok ajaran Islam, dan kemudian menteri bersama keluarganya menyatakan dirinya untuk memeluk agama Islam. Karena takut diketahui oleh Baginda Raja, semula menteri dan keluarganya mempelajari agama Islam secara diam-diam, hari demi hari telah dilewati, tapi raja yang selalu memperhatikan dan mengawasi gerak – gerik rakyatnya, akhirnya tahu juga.
2Suatu ketika menteri dan bersama kedua mubaligh itu dipanggil menghadap, dihadapan Baginda Pangeran Agung kedua mubaligh menerangkan tentang pokok-pokok ajaran Islam, mereka menjelaskan bahwa agama Islam itu bukanlah agama baru bahkan telah dianut oleh jutaan manusia di permukaan bumi. Disatu sisi agama Islam mengajak seluruh manusia agar hanya mengabdi kepada Allah SWT, dan di sisi Islam mengajarkan agar bergaul baik dengan sesama. Kemudian Baginda Pangeran Agung bertanya kepada kedua mubaligh tersebut, apakah anda juga berhasrat mengajak kami kepada Islam ? dengan tegas Mohammad Saman menjawab “ tentu saja, Tuanku “ Bagaimana sikap kalian andaikata kami tidak bersedia ? Tanya Baginda Raja lagi. Kami tetap menghormati Tuanku dan berterima kasih atas kemurahan hati Tuanku menyambut kami sambung Enci’ Shomad.
Baginda Pangeran Agung tersenyum dan langsung menyatakan bahwa dirinya memeluk agam Islam dan Baginda Pangeran Agung langsung mengucap Dua Kalimah Syahadat. Kemudian Baginda Pangeran Agung menambahkan bahwa beliau telah lama mendengar tentang agama Islam tetapi beliau belum sempat mempelajari secara mendalam. Konon baginda ingin menikah dengan putrid raja Sanggau yang sudah memeluk agama Islam, tetapi lamaran Baginda belum mendapat jawaban yang tegas. Dan setelah baginda Pangeran Agung memeluk agama Islam utusan raja Sanggau datang membawa tanda mata.
3Tidak lama kemudian baginda Pangeran Agung menikah dengan putri dari kerajaan Sanggau yang bernama Dayang Mengkiang. Dengan didorong hasrat untuk memajukan agama baru, Mohammad Saman dan Ecci’ Shomad baginda angkat sebagai warga negeri kerajaan Sintang dan kemudian balai kerajaan dijadikan pusat penyiaran agama Islam. Kedua mubaligh baginda kawinkan dengan keluarga kerajaan sehingga merekapun makin dihormati oleh rakyat.
Setelah
tersiar kabar Baginda Pangeran Agung memeluk agama Islam, maka rakyat
di kerajaan Sintang yang sebelumnya menganut agama Hindu dan Animisme
berduyun – duyun memeluk agama Islam sehingga pemeluk agama Islam mulai
berkembang. Setelah cukup lama memangku Jabatan sebagai Raja di Kerajaan
Sintang, Baginda Pangeran Agung berpulang kerahmatullah, kedudukan
sebagai Raja di Kerajaan Sintang diganti oleh Putra Mahkota yang bernama
Pangeran Tunggal dan Beliau dinobatkanBaginda Pangeran Agung beserta sebagian besar rakyatnya menganut agama Hindu, serta sebagian lainnya masih menganut faham animisme. Pada masa itu agama hindu telah berkembang dan tersebar dengan pesatnya di Kerajaan Sintang bagaikan cendawan di musim hujan, agama hindu berkembang sejak abad ke – XV yang dibawa dan di kembangkan oleh seorang Patih dari Kerajaan Majapahit bernama Patih Logender.
Belum begitu lama Baginda Pangeran Agung memangku jabatan sebagai Raja di Kerajaan Sintang, datanglah dua orang perantau dari luar kerajaan Sintang yang kemudian diketahui ternyata para mubaligh Islam. Mereka adalah Mohammad Saman dari Banjarmasin dan Enci’ Shomad dari Serawak.
1Begitu sampai ditanah Sintang kedua mubaligh langsung menghadap Baginda Raja Pangeran Agung, mereka berdua menyatakan keinginannya menetap di Kerajaan Sintang jika mendapat izin dari Baginda Raja, Sebagai mubaligh, tutur bahasa yang lemah lembut serta sopan santun dengan penuh rasa rendah hati menyebabkan Baginda Raja Pangeran Agung tertarik, dan atas izin Baginda Raja kedua mubaligh itu bertempat tinggal di rumah seorang Menteri. Dirumah Menteri itu kedua mubaligh tetap melaksanakan ibadah sholat sebagaimana mestinya. Tidak berapa lama sang menteripun tertarik ingin mengetahui apa yang dilakukan oleh kedua mubaligh tersebut dan pada suatu hari menteri memberanikan diri untuk menanyakan hal ihwal apa yang dikerjakan oleh kedua mubaligh tersebut. Kedua mubaligh itu saling silih berganti menerangkan kepada menteri pokok-pokok ajaran Islam, dan kemudian menteri bersama keluarganya menyatakan dirinya untuk memeluk agama Islam. Karena takut diketahui oleh Baginda Raja, semula menteri dan keluarganya mempelajari agama Islam secara diam-diam, hari demi hari telah dilewati, tapi raja yang selalu memperhatikan dan mengawasi gerak – gerik rakyatnya, akhirnya tahu juga.
2Suatu ketika menteri dan bersama kedua mubaligh itu dipanggil menghadap, dihadapan Baginda Pangeran Agung kedua mubaligh menerangkan tentang pokok-pokok ajaran Islam, mereka menjelaskan bahwa agama Islam itu bukanlah agama baru bahkan telah dianut oleh jutaan manusia di permukaan bumi. Disatu sisi agama Islam mengajak seluruh manusia agar hanya mengabdi kepada Allah SWT, dan di sisi Islam mengajarkan agar bergaul baik dengan sesama. Kemudian Baginda Pangeran Agung bertanya kepada kedua mubaligh tersebut, apakah anda juga berhasrat mengajak kami kepada Islam ? dengan tegas Mohammad Saman menjawab “ tentu saja, Tuanku “ Bagaimana sikap kalian andaikata kami tidak bersedia ? Tanya Baginda Raja lagi. Kami tetap menghormati Tuanku dan berterima kasih atas kemurahan hati Tuanku menyambut kami sambung Enci’ Shomad.
Baginda Pangeran Agung tersenyum dan langsung menyatakan bahwa dirinya memeluk agam Islam dan Baginda Pangeran Agung langsung mengucap Dua Kalimah Syahadat. Kemudian Baginda Pangeran Agung menambahkan bahwa beliau telah lama mendengar tentang agama Islam tetapi beliau belum sempat mempelajari secara mendalam. Konon baginda ingin menikah dengan putrid raja Sanggau yang sudah memeluk agama Islam, tetapi lamaran Baginda belum mendapat jawaban yang tegas. Dan setelah baginda Pangeran Agung memeluk agama Islam utusan raja Sanggau datang membawa tanda mata.
3Tidak lama kemudian baginda Pangeran Agung menikah dengan putri dari kerajaan Sanggau yang bernama Dayang Mengkiang. Dengan didorong hasrat untuk memajukan agama baru, Mohammad Saman dan Ecci’ Shomad baginda angkat sebagai warga negeri kerajaan Sintang dan kemudian balai kerajaan dijadikan pusat penyiaran agama Islam. Kedua mubaligh baginda kawinkan dengan keluarga kerajaan sehingga merekapun makin dihormati oleh rakyat.
sebagai Raja di Kerajaan Sintang yang ke XVIII. Kegiatan Baginda Pangeran Tunggal tidak kurang dari ayahndanya sehingga agama Islam semakin berkembang sampai ke pedalaman. Baginda menjalankan Pemerintahan cukup lama dan baginda Pangeran Tunggal yang merencanakan pembangunan Masjid yang pertama dalam kerajaan Sintang. Tetapi mujur tak dapat diraih dan malang tak dapat di tolak, sebelum rencana terlaksana Baginda Pangeran Tunggal berpulang kerahmatullah.
4Karena Putra almarhum Abang Itot tidak memenuhi syarat sebagai Raja di Kerajaan Sintang, sedangkan Putra mahkota almarhum yaitu Pangeran Purba tidak berada di negeri Sintang, karena sudah berkali – kali diberitahu tentang keadaan ayahnda semasa masih hidup bahkan sampai Baginda Pangeran Tunggal wafat pun Pangeran purba tidak datang dan pada akhirnya untuk di angkat sebagai Raja di Kerajaan Sintang, diangkatlah keponakan almarhum Baginda Pangeran Tunggal sebagai Raja di Kerajaan Sintang ke XIX, yaitu putra dari Nyai Cili ( adik Pangeran Tunggal ) dan Mangku Negara Melik yang bernama Abang Nata, ketika itu Abang Nata masih berusia 10 tahun. Sementara menunggu dewasa Pemerintahan ditangani oleh seorang Wazir bernama Senopati Laket, Ia menjalankan pemerintahan sampai Raja berusia 20 tahun. Setelah Abang Nata berusia 20 tahun, maka beliaupun dinobatkan sebagai Raja di Kerajaan Sintang, bergelar ‘ Sultan Nata Muhammad Syamsuddin
0 komentar:
Posting Komentar